Ketika Teror Mencoba Membungkam Media: Saatnya Publik Bersikap

Jakarta, denting.id – Sebuah pesan menyesakkan dikirimkan ke kantor Tempo.

Bukan melalui surat ancaman atau telepon intimidatif, melainkan dalam bentuk kepala babi. Beberapa hari berselang, enam bangkai tikus dengan kepala terpenggal menyusul.

Sulit untuk mengabaikan pesan ini. Ini bukan sekadar aksi iseng, melainkan ancaman nyata terhadap kebebasan pers di Indonesia.

Simbol penghinaan, kekerasan, dan teror dikirimkan ke meja redaksi, seolah ingin menanamkan rasa takut pada mereka yang setiap hari bekerja membawa kebenaran ke hadapan publik.

Ada yang sinis, menganggap ini hanya sensasi belaka.

Ada pula yang melihatnya sebagai bukti bahwa jurnalisme di Indonesia masih berjalan di jalan yang terjal.

Namun, satu hal yang pasti: ini bukan hanya soal Tempo.

Ini soal ancaman terhadap kebebasan pers, terhadap hak publik untuk mengetahui kebenaran.

Jika tindakan seperti ini dibiarkan, media di Indonesia akan berpikir ulang sebelum mengungkap fakta-fakta penting, karena taruhannya bisa jadi nyawa dan keselamatan.

Baca juga : Presiden Prabowo Gelar Buka Puasa Bersama Kabinet Merah Putih di Istana

Sejarah Membuktikan, Jurnalisme Tak Mudah Dibungkam

Ancaman terhadap jurnalis bukan hal baru.

Di berbagai belahan dunia, intimidasi, kriminalisasi, hingga pembunuhan terhadap jurnalis kerap terjadi.

Di Malta, Daphne Caruana Galizia dibunuh setelah mengungkap skandal korupsi tingkat tinggi.

Di Filipina, Maria Ressa terus diteror karena kritiknya terhadap pemerintah. Di Rusia, Anna Politkovskaya dibungkam dengan peluru, tetapi namanya tetap hidup dalam sejarah.

Di Indonesia sendiri, kasus almarhum Udin di Yogyakarta masih menjadi luka yang belum terobati.

Ketika negara lamban bertindak, kebenaran bisa terkubur selamanya.

Tetapi sejarah juga membuktikan bahwa jurnalisme tak bisa begitu saja dibungkam.

Setiap upaya menekan pers justru memantik perlawanan yang lebih besar.

Seperti rerumputan yang diratakan cangkul, jurnalisme selalu tumbuh kembali.

Maka, bila ada yang berpikir bahwa kepala babi dan bangkai tikus bisa menghentikan media, mereka jelas keliru.

Saatnya Negara dan Publik Bergerak

Teror terhadap jurnalis adalah ujian bagi sebuah bangsa. Apakah kita akan mendiamkan, atau berdiri bersama keberanian?

Langkah Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo yang memerintahkan Kabareskrim untuk menyelidiki kasus ini patut diapresiasi.

Namun, lebih dari sekadar menemukan siapa pengirim paket-paket itu, aparat perlu menelusuri siapa dalang di baliknya.

Jejak digital, rekaman kamera pengawas, serta teknologi investigasi yang ada harus dikerahkan untuk membongkar kasus ini hingga ke akar-akarnya.

Jangan sampai ini hanya berhenti di tingkat eksekutor, sementara aktor intelektualnya tetap bebas berkeliaran.

Di sisi lain, masyarakat juga punya peran besar.

Kebebasan pers bukan hanya milik jurnalis, melainkan napas demokrasi yang harus dijaga bersama.

Media sosial bisa menjadi alat untuk menyuarakan solidaritas, menyebarkan narasi yang melawan ketakutan, dan menunjukkan bahwa publik tak akan tinggal diam saat pers diintimidasi.

Karena yang paling berbahaya bukanlah kepala babi atau bangkai tikus itu sendiri, melainkan jika kita mulai menganggapnya biasa.

Jika teror terhadap pers menjadi lumrah, itulah awal kemunduran demokrasi.

Negara yang besar bukan hanya yang punya gedung tinggi dan anggaran triliunan, tetapi yang tahu cara menghormati suara terkecil, melindungi keberanian yang tak selalu tampak, dan memastikan cahaya kebenaran tak pernah padam.

Dan bagi mereka yang mencoba menebar ketakutan, satu hal yang perlu diingat: sejarah selalu berpihak pada mereka yang tak gentar menghadapi teror.

Baca juga : Celetuk “Dimasak Saja” soal Kepala Babi ke Tempo, Hasan Nasbi Tegaskan Kebebasan Pers

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *