Jakarta, Denting.id – Kejaksaan Agung (Kejagung) terus mendalami kasus sengketa antara Navayo International AG dan pemerintah Indonesia terkait pengadaan satelit Kementerian Pertahanan (Kemhan) RI. Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar menyatakan bahwa penyidikan perkara ini masih berproses, dengan penyidik koneksitas Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Militer (Jampidmil) terus mengumpulkan bukti-bukti.
“Seperti pemeriksaan saksi dari pihak militer dan sipil, penyitaan barang bukti, dan pemeriksaan ahli,” ujar Harli kepada wartawan, Sabtu (22/3/2025).
Navayo Tak Indahkan Panggilan Kejagung
Harli menjelaskan bahwa pihak Navayo belum bisa diperiksa karena mereka kerap mengabaikan panggilan Kejagung. Perusahaan yang berbasis di Liechtenstein itu disebut tidak menanggapi beberapa kali pemanggilan yang telah disampaikan melalui Kementerian Luar Negeri (Kemenlu).
“Setelah dilakukan beberapa kali pemanggilan sebagai saksi oleh penyidik melalui pihak Kemenlu, ternyata pihak Navayo tidak mengindahkan panggilan tersebut,” kata Harli.
Mengenai kemungkinan penetapan tersangka dan pemeriksaan tanpa kehadiran pihak Navayo, Harli menyebut hal tersebut akan diputuskan setelah gelar perkara.
“Rencana langkah melakukan pemeriksaan secara in absentia atau menetapkannya sebagai tersangka dan langkah-langkah lainnya terhadap perkara Navayo akan dilakukan setelah gelar perkara perkembangan penyidikan,” tambahnya.
Aset Pemerintah RI di Prancis Terancam Disita
Sengketa ini bermula dari kontrak Kemhan dengan Navayo pada 2015 untuk menyewa satelit guna mengisi slot orbit 123° BT. Namun, proyek tersebut bermasalah hingga Kemhan memutuskan tidak membayar biaya sewa.
Navayo bersama Hungarian Export Credit Insurance PTE LTD kemudian menggugat Kemhan di International Chambers of Commerce (ICC) Singapore dan memenangkan sengketa. Kemhan dihukum membayar denda sebesar USD 103.610.427,89 atau sekitar Rp 1,6 triliun.
Pada 2022, Navayo mengajukan permohonan eksekusi sita ke pengadilan Prancis untuk menyita aset pemerintah Indonesia di Paris. Pada 2024, pengadilan Prancis memberikan wewenang kepada Navayo untuk menyita properti milik pemerintah Indonesia, termasuk rumah dinas pejabat diplomatik RI.
Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra menegaskan bahwa penyitaan ini menyalahi Konvensi Wina tentang hubungan diplomatik. Pemerintah akan melakukan berbagai upaya untuk menghambat eksekusi tersebut.
Unsur Pidana dan Dugaan Korupsi dalam Kasus Navayo
Yusril juga menyoroti adanya dugaan pidana dalam kasus ini. Berdasarkan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Navayo diduga melakukan wanprestasi karena tidak memenuhi kewajibannya sesuai kontrak.
“Menurut perhitungan BPKP, pekerjaan yang sudah dilakukan oleh pihak Navayo hanya sejumlah Rp 1,9 miliar, jauh dari nilai kontrak yang disepakati dengan Kemhan,” ujar Yusril.
Namun, akibat kekalahan di arbitrase ICC Singapura, pemerintah Indonesia kini dihadapkan pada kewajiban membayar denda dalam jumlah yang sangat besar.
Kejaksaan Agung juga telah melakukan proses hukum terhadap pihak-pihak yang terkait dugaan tindak pidana korupsi dalam pengadaan satelit tersebut. Yusril menegaskan bahwa pihak Navayo tidak pernah menghadiri pemanggilan Kejagung meskipun telah dipanggil berkali-kali.
“Pihak Navayo sudah beberapa kali dipanggil oleh Kejaksaan Agung, tetapi tidak kunjung hadir untuk diperiksa sebagai terperiksa maupun ditetapkan sebagai tersangka,” katanya.
Upaya Hukum Pemerintah: Kejar Navayo Lewat Interpol
Dalam rapat koordinasi pada Kamis (20/3), pemerintah sepakat untuk membawa permasalahan Navayo ke Presiden Prabowo Subianto. Jika ditemukan cukup bukti, pemerintah akan menetapkan pihak Navayo sebagai tersangka dan meminta bantuan Interpol untuk menangkapnya.
“Kita akan meminta Interpol mengejar pihak Navayo agar ditangkap dan dibawa ke Indonesia untuk diadili dalam kasus korupsi ini,” tegas Yusril.
Ia menegaskan bahwa jika memang terdapat unsur korupsi dalam kasus ini, maka pemerintah Indonesia tidak seharusnya membayar kompensasi sebesar itu kepada Navayo.
Baca juga : BPA Kejagung Jual 967.500 Lembar Saham Jiwasraya, Negara Peroleh Rp37,86 Miliar
“Kita tidak ingin masalah ini menjadi beban negara. Jika ada korupsi, mengapa pemerintah Indonesia harus membayar kompensasi begitu besar kepada pihak Navayo?” tutupnya.