Jakarta, denting.id – Penahanan mahasiswa Indonesia di Amerika Serikat menjadi peringatan bagi pemerintah agar memperkuat perlindungan hukum terhadap WNI di luar negeri. Junico Siahaan, anggota Komisi I DPR RI, menilai absennya Duta Besar RI di AS turut memperlemah respons diplomatik dalam kasus seperti ini.
Dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (16/4), Junico atau yang akrab disapa Nico, meminta Kementerian Luar Negeri (Kemlu) bersama perwakilan diplomatik RI di Amerika Serikat untuk segera dan secara aktif memberikan perlindungan maksimal terhadap Aditya Harsono Wicaksono, mahasiswa Indonesia yang ditangkap otoritas imigrasi AS sejak 27 Maret lalu.
“Kami mendesak Kemlu dan KJRI Chicago untuk terus memberikan pendampingan maksimal terhadap WNI kita yang ditangkap di Amerika Serikat. Ini bukan hanya soal kasus hukum perorangan, tetapi menyangkut muruah negara dalam melindungi warganya di luar negeri,” ujar Nico.
Aditya, yang diketahui tinggal di Marshall, Minnesota, ditangkap oleh agen Immigration and Customs Enforcement (ICE) beberapa hari setelah visanya dicabut secara tiba-tiba. Pria berusia 33 tahun itu diduga ditangkap karena pernah mengikuti aksi protes kematian George Floyd pada 2021, yang kala itu memicu gelombang gerakan Black Lives Matter di AS.
Hingga kini, Aditya masih ditahan di Kandiyohi County Jail, Minnesota. Pemerintah Indonesia melalui Kemlu dan Kementerian Hukum disebut telah mulai melakukan pendampingan hukum atas kasus ini.
Nico menekankan pentingnya negara hadir dan memberikan perlindungan hukum yang maksimal, berdasarkan prinsip keadilan universal dan asas non-diskriminasi.
Baca juga : Kemenhan Bantah Rusia Gunakan Pangkalan Militer di RI
“Indonesia harus menunjukkan bahwa kita serius dalam memperjuangkan hak-hak hukum setiap warga negara, apalagi ketika menghadapi sistem hukum asing yang memiliki dinamika dan tantangan tersendiri,” tegasnya.
Aditya diketahui memegang visa pelajar F-1 dan telah menyelesaikan gelar magister di Southwest Minnesota State University pada 2023. Saat visanya dicabut, ia tengah menunggu proses pengajuan green card usai menikah dengan warga negara AS.
Mahasiswa tersebut juga sempat menjalani proses hukum akibat aksi protes di masa lalu, termasuk dakwaan atas perusakan properti yang masuk dalam kategori pelanggaran tingkat empat. Namun, ia telah bebas dengan jaminan setelah menjalani persidangan.
Menurut Nico, kasus Aditya mencerminkan kompleksitas sosial-politik di AS yang bisa berdampak serius bagi warga asing, termasuk WNI. Ia pun mengimbau diaspora Indonesia di AS untuk lebih berhati-hati dalam mengekspresikan pendapat dan bersikap di ruang publik.
“Kami mengimbau WNI, khususnya pelajar dan diaspora di AS, untuk lebih hati-hati dalam menyuarakan opini. Ini bukan soal membatasi kebebasan berekspresi, tetapi memahami konteks politik dan hukum di negara tempat tinggal,” ucapnya.
Meski demikian, Nico menegaskan bahwa hak berekspresi tetap dijamin dan penting untuk isu-isu kemanusiaan. Ia hanya mengingatkan agar WNI lebih bijak dalam menyikapi situasi politik lokal, terutama sebagai pendatang.
Lebih jauh, ia menyoroti kekosongan posisi Duta Besar RI untuk AS selama dua tahun terakhir sebagai faktor yang memperlemah upaya diplomatik Indonesia di Negeri Paman Sam.
“Tanpa kehadiran duta besar, respons terhadap kasus-kasus seperti ini bisa lebih lambat dan tidak maksimal. Kita butuh wakil yang mampu membuka dialog langsung dengan pemerintah AS demi melindungi kepentingan warga kita,” kata legislator dari Dapil Jawa Barat I itu.
Ia pun mendorong pemerintah segera mengajukan nama calon Duta Besar RI untuk AS kepada DPR, guna memperkuat peran diplomatik Indonesia, khususnya dalam aspek perlindungan WNI.
“Perwakilan Indonesia di luar negeri bukan hanya menjadi penjaga hubungan bilateral, tetapi juga garda depan perlindungan warga negara,” tutupnya.