Jakarta, denting.id – Tampak sehat bukan berarti bebas risiko. Pasangan dengan kondisi thalasemia minor berpeluang besar menurunkan penyakit thalasemia mayor pada anak, kondisi yang membutuhkan transfusi darah seumur hidup.
Peringatan ini disampaikan oleh dr. Ludi Dhyani Rahmartani, Sp.A (K), Konsultan Hemato Onkologi Anak dari FKUI-RSCM, dalam webinar kesehatan, Kamis (22/5). Ia menjelaskan bahwa thalasemia mayor adalah penyakit genetik berat yang hanya muncul jika kedua orang tua adalah pembawa sifat (carrier) thalasemia.
“Thalasemia mayor tidak akan terjadi jika salah satu saja yang carrier. Kalau dua-duanya minor, risiko anak lahir dengan kondisi mayor meningkat signifikan,” ujar Ludi.
Indonesia, yang berada dalam sabuk thalasemia dunia, mencatat angka pembawa sifat genetik ini sekitar 3–8 persen dari populasi. Ironisnya, kebanyakan tidak menyadari kondisi tersebut karena thalasemia minor sering tidak menunjukkan gejala.
Gejala minor yang sangat ringan membuatnya sering terlewat. Padahal, risiko bagi keturunan sangat nyata. Oleh karena itu, Ludi mendorong masyarakat untuk melakukan skrining hemoglobin (Hb) sejak dini, terutama menjelang pernikahan atau sebelum merencanakan kehamilan.
“Skrining Hb adalah langkah kecil tapi krusial. Kalau dua orang yang minor menikah, idealnya ada langkah pencegahan—seperti bayi tabung dengan seleksi embrio—atau mempertimbangkan opsi lainnya,” tambahnya.
Thalasemia mayor biasanya terdeteksi pada bayi di bawah usia dua tahun dengan gejala seperti pucat, perut membesar, hingga pertumbuhan terhambat. Kondisi ini membuat penderita harus menjalani transfusi darah seumur hidup untuk bertahan hidup.
Selain itu, ada juga kategori thalasemia intermedia, di mana transfusi hanya dibutuhkan pada kondisi tertentu seperti kehamilan atau infeksi berat.
Pakar menekankan pentingnya edukasi masyarakat agar tidak abai terhadap kondisi genetik ini. Pemeriksaan sederhana bisa menjadi benteng bagi generasi berikutnya dari penderitaan panjang yang sebenarnya bisa dicegah.