Jakarta, denting.id – Meningkatnya popularitas destinasi wisata di Indonesia harus diimbangi dengan pelayanan yang bersih dari praktik merugikan wisatawan. Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Ni Luh Puspa, menegaskan bahwa praktik pungutan liar (pungli) tidak boleh lagi terjadi di kawasan wisata.
“Ini bukan hanya soal aturan, tapi soal citra bangsa. Wisatawan datang untuk menikmati keindahan, bukan untuk dipalak,” tegas Ni Luh dalam pernyataan resminya, Kamis (22/5).
Pernyataan ini disampaikan menyusul maraknya laporan pungli di beberapa destinasi wisata, salah satunya di Kampung Adat Ratenggaro, Sumba Barat Daya, NTT, yang sempat viral di media sosial. Pemerintah, kata Ni Luh, tak tinggal diam dan telah bergerak cepat dengan langkah kolaboratif antara pusat dan daerah.
Dalam rapat koordinasi virtual bersama stakeholder pariwisata NTT, Ni Luh menekankan pentingnya pendekatan preventif dan edukatif, terutama terhadap masyarakat sekitar destinasi. Edukasi ini tidak hanya soal larangan pungli, tapi juga pembekalan agar warga bisa meraih manfaat ekonomi lewat pariwisata yang sehat.
“Masyarakat harus jadi pelaku utama pariwisata, bukan penonton apalagi pelaku praktik menyimpang,” katanya.
Selain itu, wisatawan juga diimbau agar tidak sembarangan memberi uang atau bantuan langsung kepada anak-anak di lokasi wisata. Penyaluran sebaiknya dilakukan lewat lembaga resmi atau komunitas setempat agar lebih tepat sasaran.
Kemenparekraf mendukung pemasangan papan informasi tarif yang transparan di destinasi wisata, sebagai bentuk keterbukaan kepada pengunjung. Bupati Sumba Barat Daya, Ratu Ngadu Bonu Wulla, turut menyatakan komitmennya memberantas pungli dan memperbaiki sistem pengelolaan wisata secara menyeluruh.
“Ini titik balik. Sumba harus bangkit dengan pariwisata yang tertib, aman, dan inklusif,” pungkas Ni Luh.