Kejaksaan Gandeng TNI untuk Pengamanan, Masyarakat Sipil Kritik Perpres 66/2025

Jakarta, Denting.id — Kejaksaan Agung (Kejagung) RI mengonfirmasi pengerahan personel TNI ke berbagai kantor kejaksaan negeri (Kejari) dan kejaksaan tinggi (Kejati) di seluruh Indonesia sebagai langkah pengamanan strategis. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar, mengatakan pengamanan oleh TNI tengah berlangsung dan menyesuaikan kebutuhan masing-masing daerah.

“Di daerah sedang berproses sesuai kebutuhan masing-masing,” kata Harli kepada Tempo, Ahad (1/6/2025).

Harli menjelaskan bahwa pengerahan ini murni untuk pengamanan aset dan gedung kejaksaan, serta tidak berkaitan dengan kasus hukum tertentu yang sedang ditangani. “Kejaksaan termasuk objek vital yang sangat strategis,” ujarnya.

Dasar Hukum dan Dukungan TNI

Pengamanan ini merujuk pada Telegram Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto tertanggal 5 Mei 2025 dan Nota Kesepahaman NK 6/IV/2023 yang diteken pada 6 April 2023 antara TNI dan Kejagung. Telegram tersebut menegaskan dukungan TNI terhadap kelancaran dan keamanan pelaksanaan tugas kejaksaan, baik di tingkat provinsi (Kejati) maupun kabupaten/kota (Kejari).

“Segala bentuk dukungan TNI tersebut dilaksanakan berdasarkan permintaan resmi dan kebutuhan yang terukur, serta tetap mengacu pada ketentuan hukum yang berlaku,” ujar Kapuspen TNI Mayor Jenderal Kristomei Sianturi, Minggu (11/5/2025).

Harli menyebut bahwa pengerahan personel TNI telah dilakukan selama enam bulan terakhir, menandai pergeseran pendekatan pengamanan lembaga hukum ke model kolaboratif antar-institusi negara.

Kritik dari Masyarakat Sipil

Namun, kebijakan ini menuai kritik dari kalangan masyarakat sipil. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan yang terdiri dari Amnesty International Indonesia, Imparsial, KontraS, dan Yayasan LBH Indonesia menyatakan bahwa pelibatan TNI untuk pengamanan kejaksaan tidak mendesak dan justru menimbulkan kekhawatiran terhadap kembalinya praktik dwifungsi TNI.

“Tidak ada kondisi darurat yang mengharuskan pengerahan militer ke kejaksaan. Ini bukan ancaman militer. Presiden cukup minta bantuan dari polisi atau perkuat sistem keamanan internal kejaksaan,” kata Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Kamis (22/5/2025).

Koalisi menyoroti Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 66 Tahun 2025 yang menjadi landasan kebijakan ini. Menurut mereka, perpres tersebut membuka ruang pelibatan militer secara tidak proporsional dalam sektor sipil, tanpa rujukan yang jelas pada UU TNI maupun UU Polri. Perpres ini hanya mencantumkan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 sebagai dasar hukum, tanpa penjelasan mengenai kategori Operasi Militer Selain Perang (OMSP) yang seharusnya menjadi kerangka pelibatan TNI.

“Perpres ini tidak menyebutkan secara eksplisit kategori OMSP yang relevan, padahal Pasal 7 UU TNI telah membatasi OMSP ke dalam 16 jenis, dan tugas kejaksaan tidak termasuk di dalamnya,” jelas koalisi.

Potensi Penyalahgunaan Kewenangan

Koalisi menilai bahwa ketidakjelasan batas kewenangan dan tidak adanya pembatasan hukum yang spesifik bisa menimbulkan potensi penyalahgunaan kekuatan militer. Mereka meminta pemerintah segera mengevaluasi kebijakan tersebut dan menghentikan segala bentuk pelibatan TNI dalam fungsi-fungsi yang bersifat penegakan hukum sipil.

Baca juga : Kejagung Usut Dugaan Korupsi Pengadaan Laptop Rp9,9 Triliun di Era Nadiem Makarim

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *