Jakarta, Denting.id – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan akan menggunakan pasal gratifikasi untuk menjerat delapan tersangka dalam kasus dugaan korupsi terkait pengurusan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker).
Pelaksana Harian (Plh) Direktur Penyidikan KPK, Budi Sukmo Wibowo, menjelaskan bahwa pasal tersebut menjadi alternatif apabila penyidik tidak menemukan cukup alat bukti untuk membuktikan adanya tindak pemerasan.
“Misalnya kami tidak mendapatkan alat bukti yang kuat, sehingga kemarin dari diskusi dengan teman-teman penuntutan, kami lapiskan pasal gratifikasi,” kata Budi di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Jumat (6/6).
Selain jerat gratifikasi, KPK juga mendalami kemungkinan adanya keterlibatan pimpinan di lingkungan Kemnaker, termasuk di tingkat menteri. Pendalaman dilakukan guna menguatkan konstruksi hukum pasal gratifikasi yang akan digunakan.
“Sehingga nanti kalau bisa sampai ke level paling tinggi di kementerian tersebut, bisa mencakup unsur-unsur pasal yang dikenakan,” ujarnya.
Tak hanya itu, KPK juga membuka kemungkinan menerapkan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dalam kasus ini. Menurut Budi, praktik pemerasan yang terjadi sejak 2012 membuka peluang bagi KPK untuk melakukan pelacakan dan pemulihan aset dari hasil kejahatan.
“Karena praktik ini sudah berlangsung sejak 2012, kami akan lebih mudah apabila melakukan asset recovery melalui TPPU terhadap para oknum yang melaksanakan praktik pemerasan di Kemnaker,” jelasnya.
Dari hasil penyidikan sementara, KPK menduga adanya praktik gratifikasi yang berlangsung secara sistematis dari level staf hingga pimpinan di Kemnaker. Dugaan ini terus didalami dalam proses penyidikan.
Sebagai bagian dari proses klarifikasi, KPK akan memanggil dua mantan Menteri Ketenagakerjaan: Hanif Dhakiri (periode 2014–2019) dan Ida Fauziyah (periode 2019–2024). Keduanya akan dimintai keterangan terkait dugaan pemerasan RPTKA yang berlangsung dalam rentang waktu 2019 hingga 2023.
“Tentunya pasti akan kami klarifikasi terhadap beliau-beliau mengenai praktik yang ada di bawahnya,” kata Budi.
Dugaan praktik pemerasan ini terjadi di lingkungan Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja (Binapenta dan PKK). Menurut Budi, secara manajerial, menteri memiliki tanggung jawab atas pengawasan terhadap bawahannya.
“Nah, apakah ini nanti indikatornya bagaimana? Akan kami cross check lagi, akan kita klarifikasi dengan alat-alat bukti yang kami temukan dalam proses penyidikan,” tambahnya.
KPK telah menetapkan delapan tersangka dalam kasus ini, masing-masing berinisial SH, HYT, WP, DA, GTW, PCW, JMS, dan ALF. Mereka diduga menerima uang hasil pemerasan dari para agen tenaga kerja asing.
Baca juga : KPK Periksa Eks Sekretaris Dewan Komisaris PT Hutama Karya dalam Kasus Korupsi Lahan JTTS
Pemerasan ini disebut berlangsung sejak 2019 dengan nilai total sementara mencapai sekitar Rp53 miliar.