Jakarta, Denting.id – Mantan Sekretaris Kementerian BUMN, Muhammad Said Didu, melayangkan kritik tajam kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, terkait pernyataan soal aktivitas pertambangan di Raja Ampat, Papua Barat Daya.
Kritik ini muncul setelah Bahlil menyatakan bahwa izin-izin tambang di wilayah tersebut telah diterbitkan sebelum pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Menanggapi hal itu, Said Didu menyebut pernyataan Bahlil sebagai bentuk “cuci tangan” yang menyesatkan publik.
“Bahlil, berhenti anggap kami semua bodoh,” tulis Said Didu dalam unggahan di platform X (sebelumnya Twitter) dengan akun @msaid_didu pada Rabu (11/6/2025).
Said menekankan pentingnya membedakan antara izin eksplorasi dan eksploitasi dalam dunia pertambangan. Menurutnya, izin eksplorasi hanya memberikan hak untuk mencari potensi tambang, sementara izin eksploitasi memungkinkan penambangan secara penuh.
“Izin eksploitasi itu keluar pada masa pemerintahan Jokowi,” tegasnya.
Ia juga menyoroti kebijakan Presiden Jokowi yang pada tahun 2022 mencabut lebih dari 2.000 izin pertambangan dan kehutanan. Namun, lanjut Said, sebagian izin tersebut justru dihidupkan kembali oleh Menteri Investasi—yang juga dijabat Bahlil—melalui kewenangannya.
Sebelumnya, Bahlil Lahadalia membantah adanya keterlibatan Presiden Jokowi maupun Iriana Jokowi dalam kegiatan pertambangan di Raja Ampat. Ia menyatakan, seluruh izin usaha pertambangan (IUP) di kawasan tersebut telah terbit sebelum era Jokowi.
“Enggak ada sama sekali (keterkaitan dengan Jokowi-Iriana),” ujar Bahlil dalam konferensi pers, Selasa (10/6/2025).
Ia juga menambahkan bahwa pemerintah telah mencabut izin dari empat perusahaan tambang yang sebelumnya beroperasi di wilayah Raja Ampat. Keempat perusahaan tersebut adalah PT Kawei Sejahtera Mining, PT Mulia Raymond Perkasa, PT Anugerah Surya Pertama, dan PT Nurham.
Menurut Bahlil, seluruh izin perusahaan itu dikeluarkan antara tahun 2004 hingga 2006, saat kewenangan pemberian izin masih berada di tangan pemerintah daerah.
Satu-satunya perusahaan tambang yang masih aktif di wilayah tersebut adalah PT GAG Nikel, yang telah memiliki kontrak karya sejak 1998.
Baca juga : Penolakan Keras Warga Adat Warnai Kunjungan Menteri ESDM Bahlil ke Sorong
Polemik ini menambah sorotan terhadap transparansi dan tata kelola sektor pertambangan nasional, khususnya di wilayah-wilayah kaya sumber daya seperti Papua Barat Daya.