Kejagung Periksa 11 Saksi Kasus Korupsi Kredit PT Sritex, Termasuk Eks Direktur dan Pegawai Bank

Jakarta, Denting.id – Kejaksaan Agung (Kejagung) terus mendalami perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian fasilitas kredit kepada PT Sri Rejeki Isman, Tbk (PT Sritex) dan entitas anak usahanya. Terbaru, Tim Jaksa Penyidik memeriksa 11 orang saksi, mulai dari mantan direktur hingga pegawai sejumlah perusahaan dan bank.

Hal ini disampaikan oleh Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar.

“Kejaksaan Agung melalui Tim Jaksa Penyidik memeriksa 11 (sebelas) orang saksi, terkait dengan perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian kredit kepada PT Sritex dan entitas anak usaha,” ujar Harli dalam keterangan pers, Kamis (13/6).

Meski tidak merinci keterangan yang diberikan masing-masing saksi, Harli menegaskan bahwa pemeriksaan ini bertujuan untuk memperkuat pembuktian dan melengkapi berkas perkara.

“Pemeriksaan saksi dilakukan untuk memperkuat pembuktian dan melengkapi pemberkasan dalam perkara dimaksud,” lanjutnya.

Adapun ke-11 saksi yang diperiksa antara lain:

1. AH – Pegawai PT Sritex

2. AMS – Mantan Direktur Keuangan PT Sritex

3. FP – Staf Keuangan PT Rayon Utama Makmur

4. AS – Kepala Divisi Analis Risiko Bisnis LPEI (2011–2012)

5. MS – Kepala Divisi Analis Risiko Bisnis (2017)

6. RB – Direktur PT Jaya Perkasa

7. MCS – Pegawai PT Sritex

8. AR – Direktur Kepatuhan PT Bank DKI (2020)

9. SH – Pemimpin Grup Kepatuhan PT Bank DKI (2020)

10. AP – Sekretaris PT Bank BJB

11. WH – Sekretaris PT Bank BJB

Diketahui, dalam perkara ini Kejagung telah menetapkan tiga tersangka, yakni Komisaris Utama PT Sritex Iwan Setiawan Lukimton (ISL), Direktur Utama Bank DKI tahun 2020 Zainuddin Mappa, serta Pemimpin Divisi Komersial dan Korporasi Bank BJB, Dicky Syahbandinata.

Baca juga : Kejagung Ungkap Jamdatun Sudah Beri Rekomendasi soal Pengadaan Chromebook di Kemendikbud Ristek

Kasus ini berawal dari pemberian kredit kepada PT Sritex oleh Bank DKI dan Bank BJB dengan total nilai mencapai Rp692 miliar. Kredit tersebut terdiri dari Rp543 miliar dari Bank BJB dan Rp149 miliar dari Bank DKI.

Namun, Kejagung menemukan bahwa pemberian kredit itu diduga bertentangan dengan prinsip kehati-hatian, analisis risiko, prosedur perbankan, dan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.

Lebih jauh, penggunaan dana kredit yang semestinya diperuntukkan bagi modal kerja, justru dialihkan untuk membayar utang dan membeli aset berupa tanah, yang memperkuat indikasi penyalahgunaan. Penyidikan terhadap kasus ini masih terus bergulir.

 

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *