Dini Hari di Sekolah: Akademisi Soroti Dampak Sosial Kebijakan Jam Masuk 06.30

Jakarta, denting.id – Polemik soal jam masuk sekolah pukul 06.30 WIB di Jawa Barat terus menggelinding. Sejumlah akademisi menilai, kebijakan ini tak cukup berbasis kajian ilmiah dan berisiko menimbulkan disrupsi dalam kehidupan keluarga, terutama bagi guru perempuan dan orang tua yang bekerja.

Kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang mengatur jam masuk sekolah mulai pukul 06.30 WIB menuai sorotan dari kalangan akademisi. Salah satunya datang dari Dosen Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Tina Hayati Dahlan, yang menilai pendekatan kebijakan tersebut belum menyentuh aspek psikologis dan sosial yang mendalam.

“Kebijakan semestinya lahir dari kajian komprehensif, bukan hanya asumsi semangat belajar pagi. Dampaknya luas, terutama bagi siswa, guru, dan keluarga,” ujar Tina dalam keterangannya, Minggu (8/6/2025).

Sebagai dosen psikologi perkembangan dan pendidikan keluarga, Tina menyampaikan keprihatinan terhadap potensi kekacauan domestik yang bisa ditimbulkan. Ia merujuk pada riset tesis mahasiswa bimbingannya yang meneliti kebijakan serupa saat Dedi menjabat Bupati Purwakarta.

“Dalam riset tersebut, sejumlah guru perempuan mengaku harus membawa anaknya yang masih kecil ke sekolah karena belum sempat diurus. Ada yang belum mandi, belum sarapan, hingga relasi suami-istri yang terganggu akibat stres pagi hari,” ungkapnya.

Tina menekankan bahwa pembelajaran yang ideal seharusnya mengakomodasi kebutuhan menyeluruh siswa dan tenaga pendidik—bukan hanya sisi kognitif, tapi juga aspek motorik, emosional, sosial, hingga spiritual.

“Jika hanya mengejar waktu belajar lebih pagi tanpa memperhatikan kesiapan fisik dan mental, baik siswa maupun guru akan mengalami tekanan yang tidak sehat,” lanjutnya.

Surat Edaran Gubernur No: 58/PK.03/Disdik yang diteken Dedi Mulyadi mengatur jam efektif dari jenjang PAUD hingga SMA sederajat, yang berlaku mulai pukul 06.30 WIB setiap Senin hingga Jumat. Kebijakan ini mencakup sekolah umum, madrasah, hingga sekolah luar biasa.

Namun Tina menilai, perubahan besar seperti ini seharusnya melalui uji publik yang melibatkan berbagai elemen—termasuk psikolog, orang tua, dan perwakilan tenaga pendidik.

“Pendekatan kolaboratif harus menjadi fondasi kebijakan pendidikan. Kita bicara masa depan generasi, bukan sekadar manajemen waktu,” tegasnya.

Kritik ini mencerminkan kekhawatiran bahwa kebijakan yang dimaksudkan untuk meningkatkan kedisiplinan dan kualitas pendidikan justru bisa menjadi bumerang jika tak didukung pendekatan berbasis bukti dan empati terhadap realitas sosial masyarakat.

 

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *