Jakarta, Denting.id – Kejaksaan Agung (Kejagung) menanggapi pernyataan Wilmar International Limited terkait penyitaan uang sebesar Rp11,8 triliun dalam perkara dugaan korupsi pemberian fasilitas crude palm oil (CPO) dan turunannya. Wilmar sebelumnya mengklaim uang tersebut sebagai “dana jaminan”, namun Kejagung menegaskan tidak ada istilah demikian dalam proses hukum tindak pidana korupsi.
“Dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi terkait kerugian keuangan negara tidak ada istilah dana jaminan. Yang ada adalah uang yang disita sebagai barang bukti atau uang pengembalian kerugian keuangan negara,” ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar, Kamis (19/6/2025).
Harli menjelaskan bahwa uang tersebut berasal dari lima terdakwa korporasi yang tergabung dalam Wilmar Group. Seluruh uang yang disita telah mendapatkan izin resmi berdasarkan Penetapan Izin Penyitaan dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 40/Pid.Sus-TPK/2025/PN.Jkt.Pst tertanggal 4 Juni 2025.
“Uang tersebut disita sebagai bagian dari upaya pengembalian kerugian negara dan akan dipertimbangkan dalam putusan pengadilan,” jelas Harli.
Lebih lanjut, Kejagung menyatakan bahwa uang sitaan itu sudah menjadi bagian dari tambahan memori kasasi yang diajukan tim Jaksa Penuntut Umum (JPU). Dokumen tersebut kini menjadi bahan pertimbangan Hakim Agung dalam memutus perkara di tingkat kasasi.
“Karena perkaranya masih berjalan, maka uang pengembalian tersebut disita untuk dipertimbangkan dalam putusan pengadilan. Kami optimistis kasasi ini akan dimenangkan,” tegas Harli.
Ia juga menyebut bahwa penyitaan uang telah dilakukan sesuai prosedur dan sah secara hukum, karena telah mendapatkan persetujuan dari pengadilan. Uang tersebut nantinya akan digunakan untuk mengompensasi kerugian negara akibat tindak pidana korupsi yang dilakukan para terdakwa dari Wilmar Group.
Baca juga : Dirut Sritex Kembali Diperiksa Kejagung Terkait Dugaan Korupsi Kredit Perbankan
Kasus dugaan korupsi ini merupakan bagian dari penyidikan besar-besaran Kejagung terhadap praktik koruptif dalam industri kelapa sawit, khususnya pemberian fasilitas ekspor CPO yang diduga merugikan negara triliunan rupiah.