Jakarta, denting.id – Memperkuat kepastian hukum pemilu, keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan waktu penyelenggaraan pemilu nasional dan lokal justru dinilai mencederai logika konstitusi dan mengabaikan preseden hukum sebelumnya.
Anggota Komisi II DPR RI Muhammad Khozin mengkritik keras putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengatur pemisahan pemilu nasional dan daerah dengan jeda waktu minimal dua tahun. Menurutnya, putusan tersebut tidak sejalan dengan prinsip konsistensi hukum dan justru bertentangan dengan putusan MK sendiri sebelumnya.
“UU Pemilu belum direvisi sejak Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019. Dalam putusan itu, MK secara tegas menyerahkan pilihan model keserentakan kepada pembentuk undang-undang. Tapi sekarang, MK justru menetapkan sendiri model keserentakan. Ini paradoks,” kata Khozin di Jakarta, Jumat (28/6).
Khozin menegaskan bahwa langkah MK ini berpotensi melampaui kewenangan lembaga yudikatif dan memasuki domain legislatif, yang seharusnya memiliki kewenangan untuk merumuskan model keserentakan dalam penyelenggaraan pemilu.
“Dalam angka 3.17 putusan 55, MK sudah menyadari bahwa urusan model keserentakan bukan ranah mereka. Jadi aneh jika sekarang mereka yang memutuskan sendiri bahwa pemilu harus dipisahkan waktunya,” jelasnya.
Politisi dari Partai Gerindra itu juga mengingatkan bahwa keputusan ini bisa menimbulkan implikasi serius, mulai dari beban anggaran, kompleksitas logistik, hingga kebingungan publik dalam memahami tahapan demokrasi.
“Ini bukan soal teknis semata. Ini menyangkut legitimasi, keadilan pemilu, dan harmonisasi penyelenggaraan demokrasi. Sayangnya, putusan MK ini hanya melihat dari satu sisi. Hakim konstitusi seharusnya punya pandangan yang menyeluruh dan negarawan,” tegas Khozin.
Meski demikian, DPR, menurutnya, akan tetap menjadikan putusan ini sebagai bahan penting dalam proses penyusunan perubahan UU Pemilu yang memang sedang diagendakan.
“Kami akan melakukan rekayasa konstitusional, sesuai amanat putusan MK terdahulu, agar sistem pemilu kita tetap kokoh, adaptif, dan menjamin kepastian hukum,” tambahnya.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 menyatakan bahwa pemilu nasional—yang meliputi pemilihan presiden, anggota DPR dan DPD—harus diselenggarakan terpisah dari pemilu daerah seperti pemilihan kepala daerah dan anggota DPRD, dengan jeda paling sedikit dua tahun dan paling lama dua tahun enam bulan.
Putusan ini menuai polemik di kalangan ahli hukum dan politisi karena dinilai inkonsisten serta menimbulkan ketidakpastian dalam desain kepemiluan nasional.