Pangkalpinang, denting.id – Di tengah tarik-menarik dua provinsi soal status administratif Pulau Tujuh, suara paling penting justru sering kali terabaikan suara masyarakat lokal. Sosiolog Universitas Bangka Belitung memperingatkan, konflik ini bukan sekadar soal batas wilayah, tapi menyangkut identitas, keadilan, dan hak dasar warga yang tinggal di pulau tersebut.
Sosiolog Universitas Bangka Belitung (UBB), Dr. Fitri Ramdhani Harahap, M.Si, menegaskan bahwa penyelesaian sengketa administratif Pulau Tujuh antara Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan Kepulauan Riau harus melibatkan masyarakat dan tokoh lokal agar tidak menimbulkan ketimpangan sosial yang berkepanjangan.
“Perpindahan wilayah administratif tanpa partisipasi penuh masyarakat lokal berisiko menciptakan disorientasi identitas dan ketidakadilan sosial,” ujar Fitri di Pangkalpinang, Jumat (28/6).
Pulau Tujuh baru-baru ini ditetapkan sebagai bagian dari Provinsi Kepulauan Riau melalui keputusan Kementerian Dalam Negeri. Namun keputusan tersebut mendapat penolakan tegas dari Pemerintah Provinsi Bangka Belitung dan DPRD-nya, bahkan hingga muncul rencana membawa perkara ini ke Mahkamah Konstitusi.
Menurut Fitri, di balik sengketa antar-elit dan institusi, ada persoalan mendasar yang sering luput: bagaimana nasib warga Pulau Tujuh yang hidup di tengah ketidakjelasan hukum dan administratif?
“Dari sisi sosiologis, dampaknya jauh lebih dalam. Masyarakat pesisir yang menggantungkan hidup dari laut bisa kehilangan akses layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur karena tarik-ulur kewenangan antarprovinsi,” jelasnya.
Ia menambahkan, ketidakhadiran masyarakat dalam proses pengambilan keputusan berpotensi memunculkan konflik horizontal, perpecahan komunitas, hingga ketegangan antara warga dan pemerintah.
“Identitas lokal yang telah terbentuk dari sejarah, budaya, dan relasi sosial bisa rusak jika perubahan dilakukan secara sepihak,” katanya.
Fitri mendorong pemerintah pusat, khususnya Kementerian Dalam Negeri, untuk membuka ruang dialog inklusif yang melibatkan tidak hanya kepala daerah dan DPRD, tetapi juga tokoh adat, akademisi, dan perwakilan komunitas lokal.
“Pendekatan hukum itu penting, tetapi tidak cukup. Kita butuh ruang partisipatif yang menjadikan masyarakat lokal sebagai subjek, bukan objek,” tegasnya.
Ia juga mengusulkan solusi alternatif berupa pengelolaan bersama (co-management) apabila tidak ditemukan kesepakatan final tentang status administratif Pulau Tujuh. Dalam skema ini, kedua provinsi bisa berbagi tanggung jawab dalam pengelolaan layanan publik dan perlindungan hak-hak masyarakat.
“Model ini telah berhasil di berbagai wilayah perbatasan di dunia. Yang penting bukan siapa yang mengklaim, tapi bagaimana masyarakat tetap terlindungi dan sejahtera,” pungkasnya.
Pulau Tujuh kini bukan sekadar titik koordinat di peta. Ia adalah rumah bagi warga yang selama ini menjaga laut, budaya, dan kedaulatan tanpa banyak sorotan. Maka, menyelesaikan sengketa ini harus lebih dari sekadar memindahkan garis—melainkan mendengarkan suara yang selama ini terdiam.