RMI PWNU Jabar Kritik Tajam Kuota 50 Siswa per Kelas, “Bukan Kebijakan Berkeadilan”

Denting Sukabumi – Denting peringatan datang dari kalangan pesantren dan sekolah swasta di Jawa Barat. Kebijakan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang menaikkan kuota kelas di SMA/SMK negeri dari 36 menjadi 50 siswa menuai respons keras dari Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) PWNU Jawa Barat.

“Kebijakan ini terlihat populis, tapi sesungguhnya mencederai keadilan pendidikan,” tegas KH Imam Jazuli, Pengasuh Pesantren Bina Insan Mulia Cirebon.

📉 Sekolah Swasta Terpuruk, Pesantren Tersisih
Data dari Forum Kepala Sekolah Swasta (FKSS) Jawa Barat mencatat:

95 persen dari 3.858 sekolah swasta belum mencapai setengah dari kuota siswa barunya.

Di Purwakarta, 45 sekolah swasta hanya mendapat 7–32 siswa.

Di Cirebon, ada SMK Islam yang hanya menerima 11 pendaftar.

Di Tasikmalaya, sejumlah sekolah hanya mendapat 6 siswa baru dan terancam tutup.

“Pesantren penyelenggara pendidikan formal semakin tersisih. Negara malah menciptakan dikotomi: negeri diperkuat, swasta dibiarkan,” ujar KH Abdurrohman, Ketua RMI PWNU Jabar.

🧠 Kebijakan Berbasis Citra, Bukan Kajian?
RMI menilai kebijakan ini tidak berbasis kajian komprehensif, tidak melibatkan pesantren, dan lebih condong pada kepentingan popularitas politik.

“Gubernur Dedi tampaknya lebih mengejar angka dan popularitas daripada menyusun kebijakan adil dan kolaboratif,” lanjut KH Abdurrohman.

Mereka juga memperingatkan potensi penurunan kualitas pembelajaran di sekolah negeri karena rasio guru-siswa makin timpang, sementara sekolah swasta kehilangan peran strategis.

📜 Empat Tuntutan RMI PWNU Jabar
Evaluasi menyeluruh atas kebijakan kuota 50 siswa per kelas.

Penyusunan kebijakan pendidikan yang adil, melibatkan sekolah negeri, swasta, dan pesantren secara setara.

Perlindungan dan subsidi afirmatif untuk pesantren dan sekolah swasta.

Dialog strategis antara pemerintah dengan organisasi pendidikan dan keagamaan sebelum kebijakan dibuat.

“Kebijakan yang baik bukan yang ramai dipuji di awal, tapi yang menyeimbangkan hak semua pihak dalam jangka panjang,” pungkas KH Imam Jazuli.

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *