Wakil Ketua Komisi X DPR RI Desak Kurikulum Antipencabulan: Saatnya Sekolah dan Pesantren Jadi Zona Aman Anak

Jakarta, denting.id – Gelombang kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan mendorong Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Lalu Hadrian Irfani, mendesak pemerintah untuk segera memasukkan kurikulum antipencabulan ke dalam sistem pendidikan nasional. Ia menyebut pendidikan tanpa perlindungan anak adalah kegagalan moral negara.

Wakil Ketua Komisi X DPR RI Lalu Hadrian Irfani menegaskan urgensi kurikulum antipencabulan sebagai bagian dari reformasi pendidikan nasional. Ia menyatakan bahwa pendidikan yang ideal tidak cukup hanya mendidik prestasi, tetapi juga harus melindungi martabat dan keselamatan anak-anak, termasuk di pesantren dan sekolah keagamaan.

“Kurikulum ini harus dirancang lintas disiplin, menginspirasi rasa hormat terhadap tubuh, mengajarkan batasan, mengenalkan hak-hak anak, serta membangun keberanian untuk berkata ‘tidak’ terhadap pelecehan,” tegas Lalu dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.

Ia mengajak seluruh elemen DPR RI dan pemerintah agar menjadikan isu ini sebagai prioritas nasional. Menurutnya, praktik pencabulan yang marak di sekolah dan pesantren bukan hanya pelanggaran etik, tetapi juga kegagalan sistemik yang membutuhkan solusi struktural.

Sebagai perbandingan, Lalu menyebut sejumlah negara seperti Belanda, Jerman, dan Swedia telah lama memasukkan pendidikan seksual berbasis perlindungan anak ke dalam kurikulum. Misalnya, program Kriebels in je buik di Belanda mengajarkan anak-anak sejak usia dini tentang rasa aman terhadap tubuh dan batas pribadi.

“Di Swedia, pendidikan relasi dan seksualitas telah dimasukkan ke dalam kurikulum sejak 1955. Hasilnya bukan hanya menurunkan kasus pelecehan, tetapi juga membangun kesadaran kolektif tentang pentingnya keselamatan anak,” jelasnya.

Ia mengaku prihatin karena sekolah dan pesantren yang sejatinya menjadi ruang tumbuhnya karakter, justru sering kali menjadi tempat terjadinya kekerasan seksual.

“Tempat yang seharusnya menjadi rumah kedua, kini berubah menjadi arena teror, tempat di mana kepercayaan dilukai dan harapan dikhianati,” ujarnya.

Data Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) tahun 2024 mencatat 573 kasus kekerasan di satuan pendidikan, di mana 42 persen di antaranya adalah kasus pencabulan. Ironisnya, 36 persen terjadi di lembaga berbasis agama seperti pesantren dan madrasah.

“Ini bukan sekadar masalah moral individu. Ini soal sistem yang gagal melindungi anak-anak kita,” ucap Lalu.

Ia pun mengajukan empat langkah strategis untuk membumihanguskan praktik pencabulan di lingkungan pendidikan:

  1. Penyusunan kurikulum berbasis pencegahan pencabulan, yang kontekstual dengan budaya lokal dan nilai-nilai keagamaan.
  2. Pelatihan tenaga pendidik, termasuk guru dan pengasuh pesantren, agar memahami etika kekuasaan dan perlindungan anak.
  3. Penerapan mekanisme pelaporan aman, yang melindungi korban dan memungkinkan transparansi, termasuk di lingkungan tertutup seperti pesantren.
  4. Pemodelan zona aman, melalui sekolah dan pesantren percontohan yang bebas dari kekerasan.

“Saya percaya bangsa ini masih punya nurani. Tapi nurani itu harus dijaga dan diperkuat oleh kebijakan yang adil dan regulasi yang tegas,” tandasnya.

Ia menutup pernyataannya dengan pesan menyentuh, “Kita tidak bisa diam saat tubuh dan jiwa anak-anak kita dihancurkan oleh mereka yang sejatinya harus menjadi pelindung.”

Baca juga : Setiap Adrenalin Butuh Perlindungan: Menparekraf Ingatkan Tegakkan SOP Wisata Ekstrem

Baca juga : Bali Siap Jadi Surga Kebugaran Dunia Lewat Wellness & Beauty Expo 2025

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *