Jakarta, Denting.id – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan upaya paksa penangkapan terhadap Direktur PT Wahana Adyawarna (WA), Menas Erwin Djohansyah (MED), tersangka kasus dugaan suap kepada mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA), Hasbi Hasan (HH).
Penangkapan dilakukan pada Rabu (24/9/2025) sekitar pukul 18.44 WIB di sebuah rumah di kawasan BSD, Tangerang Selatan, setelah Menas tiga kali mangkir dari panggilan pemeriksaan.
“KPK kemudian melakukan upaya paksa penangkapan pada hari Rabu, 24 September 2025, sekitar pukul 18.44 WIB, di sebuah rumah di kawasan BSD Tangerang Selatan,” kata Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (25/9/2025).
Ditahan 20 hari pertama
Usai menjalani pemeriksaan intensif, KPK menahan Menas di Cabang Rumah Tahanan Negara Klas I Jakarta Timur.
“Penyidik kemudian melakukan pemeriksaan secara intensif dan melakukan penahanan terhadap Saudara MED untuk 20 hari pertama, terhitung sejak 25 September sampai dengan 14 Oktober 2025,” jelas Asep.
Dugaan suap pengurusan perkara
Dalam konstruksi perkara, Menas diduga meminta bantuan kepada Hasbi Hasan untuk mengurus sejumlah perkara hukum milik temannya, antara lain sengketa lahan di Bali, Jakarta Timur, Depok, Sumedang, Menteng, serta lahan tambang di Samarinda.
Hasbi pun menyanggupi permintaan tersebut dengan biaya pengurusan berbeda-beda, tergantung jenis perkara. Uang diberikan bertahap, mulai dari uang muka hingga pelunasan setelah perkara selesai ditangani.
“Biaya pengurusan perkara tersebut diberikan secara bertahap, yaitu berupa uang muka di awal pengurusan dan pelunasan apabila perkara tersebut berhasil dibantu pengurusannya oleh HH,” ujar Asep.
Baca juga : KPK Tangkap Dirut PT Wahana Adyawarna, Menas Erwin Djohansyah
Namun, sebagian perkara justru berakhir dengan kekalahan. Menas lantas meminta perantara yang memperkenalkannya dengan Hasbi, yakni Fatahillah Ramli, untuk menyampaikan permintaan agar uang muka dikembalikan.
Jeratan hukum
Atas perbuatannya, Menas disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b, atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.