Bogor, Denting.idUniversitas Pakuan (Unpak) Bogor melaksanakan komitmennya terhadap tanggung jawab sosial melalui kegiatan pengabdian kepada masyarakat (PkM) yang fokus pada pencegahan bullying. Kegiatan ini diselenggarakan di SMA Kesatuan Bogor pada Senin (20/10/2025) dengan tema sentral “Bangun Sekolah Ramah, Tolak Perundungan dengan Nilai Kearifan Lokal.”
Kegiatan ini merupakan bagian integral dari Implementasi Program Pengembangan Model Pembelajaran Berbasis Mata Kuliah Wajib Kurikulum (MKWK) yang berlandaskan Kearifan Lokal, sekaligus mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dalam bidang pendidikan berkualitas.
Pendekatan Lintas Disiplin dan Nilai Lokal
Dalam pelaksanaan PkM, Unpak melibatkan gabungan dosen dan mahasiswa dari berbagai fakultas, termasuk Hukum, FISIP, FKIP, Fakultas Ekonomi & Bisnis, dan Fakultas Teknik. Pendekatan lintas disiplin ini digunakan untuk memberikan penyuluhan komprehensif kepada siswa-siswi SMA Kesatuan tentang pentingnya pembentukan karakter yang didasari nilai-nilai budaya lokal guna mencegah perundungan di lingkungan sekolah.
Kegiatan ini secara resmi dihadiri oleh Wakil Rektor Bidang Akademik, Prof. Dr. Eri Sarimanah, M.Pd, serta diisi oleh narasumber utama seperti Koordinator Nazaruddin Lathif, Roy Efendi, dan Dr. Mustika Mega Wijaya.
Dr. Mustika Mega Wijaya menjelaskan bahwa program tersebut merupakan hasil implementasi model pembelajaran berbasis proyek yang terintegrasi dalam kurikulum MKWK. Program ini dirancang tidak hanya untuk mengasah kemampuan akademik mahasiswa tetapi juga mendorong mereka berpartisipasi aktif dalam upaya mengatasi masalah sosial yang ada.
“Kegiatan ini merupakan bentuk nyata pembelajaran kontekstual yang berlandaskan nilai-nilai kearifan lokal. Kami ingin menanamkan kepada siswa bahwa membangun sekolah ramah dan bebas bullying harus dimulai dari kesadaran bersama. Tidak boleh ada perundungan dalam bentuk apa pun,” ujar Mustika
Filosofi Sunda sebagai Benteng Anti-Bullying
Mustika menambahkan bahwa pedoman moral utama yang disosialisasikan dalam kegiatan ini adalah nilai-nilai budaya Sunda, seperti silih asah, silih asih, silih asuh, dan silih wangi. Nilai-nilai tersebut secara berurutan merefleksikan semangat saling menghargai, menyayangi, membimbing, dan menjaga nama baik satu sama lain.
Ia menyoroti akar masalah perundungan yang kerap timbul karena lunturnya rasa kepedulian. “Bullying sering muncul karena hilangnya rasa empati dan kepedulian di antara sesama. Melalui nilai-nilai lokal ini, kami ingin menumbuhkan kembali semangat gotong royong dan rasa hormat di kalangan pelajar. Jangan ada bullying,” tegasnya.
Selain memberikan materi tentang dampak psikologis perundungan, penyuluhan ini juga mengedukasi siswa mengenai berbagai bentuk bullying yang sering terjadi, termasuk perundungan verbal, fisik, maupun mental. Peserta didik diajak untuk menyadari pentingnya mengambil peran sebagai solusi, bukan sekadar pelaku atau penonton pasif.
Mustika menekankan pentingnya langkah preventif. Meskipun belum ada data spesifik mengenai kasus perundungan di SMA Kesatuan, ia berharap kegiatan ini dapat mencegah munculnya kasus serupa di masa depan. Beliau juga berpendapat bahwa kolaborasi yang kuat sangat dibutuhkan untuk keberlanjutan program.
“Sekolah ramah bukan hanya tanggung jawab guru atau siswa, tapi juga kita semua. Pemerintah daerah dan kementerian perlu terus memperkuat sinergi dengan perguruan tinggi agar program seperti ini dapat berjalan berkelanjutan,” tambahnya.
Kegiatan PkM ini diharapkan menjadi model bagi sekolah lain, membuktikan bahwa integrasi nilai-nilai lokal dan semangat akademik dapat membentuk generasi muda yang tidak hanya cerdas tetapi juga tangguh, peduli, dan berbudaya, sejalan dengan komitmen Unpak terhadap SDGs Pendidikan Berkualitas.