Polemik NU Memanas: LPBH PBNU Kritik Tajam Pemakzulan Gus Yahya oleh Syuriah

Jakarta, denting.id – Ketegangan internal Nahdlatul Ulama (NU) kembali mencuat setelah Sekretaris Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum (LPBH) PBNU, Abdul Hakam Aqsho, menyebut keputusan Syuriah dalam memakzulkan Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf sebagai langkah yang menabrak prosedur dan berpotensi merusak marwah organisasi.

Hakam menegaskan bahwa pandangan akademisi NU, Nadirsyah Hosen, yang menyebut marwah organisasi sepenuhnya berada di tangan Syuriah, perlu dipahami secara lebih kritis. Menurutnya, keputusan Syuriah justru bertentangan dengan nilai dan tradisi para kiai yang selama ini menjaga kehormatan NU.

“Kita tahu keputusan Syuriah yang memakzulkan Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf sangat melanggar banyak prosedur organisasi dan jauh dari nilai-nilai yang dipegang teguh kiai NU. Kalau begitu, justru akan mengarah ke kehancuran NU,” ujar Hakam di Jakarta, Senin.

Sebelumnya, Nadirsyah Hosen menyatakan dirinya berada di barisan Rais Aam karena NU adalah jam’iyyah ulama sejak awal berdiri. Menurutnya, arah organisasi harus tetap berada di tangan Syuriah yang dipimpin Rais Aam, bukan direduksi menjadi perdebatan teknokratis seputar AD/ART semata.

Namun, Hakam menilai komando Rais Aam KH Miftachul Akhyar untuk memakzulkan Gus Yahya sarat dengan kelemahan prosedural. Ia memaparkan tiga kekeliruan utama:

  1. Rapat harian Syuriah pada 20 November yang menjadi dasar pemakzulan bukan rapat pleno lengkap.
  2. Tidak ada verifikasi dokumen dan ruang klarifikasi atas tuduhan yang dilayangkan.
  3. Proses pemakzulan tidak sesuai dengan AD/ART NU.

“Para kiai sepuh NU sangat prihatin. Di Lirboyo Kediri dan Tebuireng Jombang sudah meminta adanya tabayyun dan ketaatan pada regulasi organisasi,” tambahnya.

Hakam mengingatkan bahwa polemik yang mengandung persoalan organisatoris dan etis ini harus dilihat secara jernih. Ia menyerukan agar penghormatan kepada para kiai tidak menghilangkan nalar kritis dan objektif dalam menyikapi dinamika yang terjadi.

“Jangan sampai komitmen dan tingginya sikap tawaddu’ kepada kiai malah menghilangkan nalar kritis,” tegas Hakam.

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *