Demo di RSUD Leuwiliang Soroti Dugaan Korupsi Rp 777 Juta

Denting Bogor, Jawa Barat — Aksi unjuk rasa digelar sejumlah mahasiswa di RSUD Leuwiliang, Kabupaten Bogor, menyoroti dugaan korupsi yang nilainya mencapai Rp Rp777.976.800. Korupsi ini terkait pengadaan pengadaan Pneumatic Tube System (PTS).

Fariz Al Farizki, Koordinator Lapangan unjuk rasa, mengungkapkan adanya potensi kerugian negara akibat ketidaksesuaian antara dokumen serah terima pekerjaan dengan kondisi riil di lapangan.

“Terdapat ketidaksesuaian signifikan antara dokumen serah terima pekerjaan dengan kondisi faktual,” kata Fariz, Jumat (18/7/2025).

Selain mark-up nilai kontrak, kata dia, pengadaan juga dilakukan di luar mekanisme e-katalog, yang seharusnya menjadi standar dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah. Ini dinilai bukan sekadar kelalaian administratif, tapi potensi pelanggaran sistemik.

Proyek PTS tersebut diketahui dirancang untuk mendukung sistem logistik internal rumah sakit dengan memfasilitasi distribusi cepat dan steril antara laboratorium, instalasi farmasi, serta unit-unit pelayanan medis lainnya. Sistem ini diharapkan mampu meningkatkan efisiensi layanan dan mempercepat proses penanganan pasien.

Baca juga: Klarifikasi Dinas Kesehatan dan Pihak RSUD Leuwiliang

Namun demikian, implementasi sistem tersebut di RSUD Leuwiliang diduga sarat dengan. Kasus ini menjadi indikasi penyalahgunaan anggaran negara yang kembali mencuat di sektor pelayanan publik, khususnya di bidang kesehatan.

Pengadaan sistem PTS tersebut dirancang untuk mempercepat distribusi logistik internal rumah sakit, termasuk pengiriman sampel laboratorium, obat dari instalasi farmasi, dan dokumen medis penting. Namun, pelaksanaannya diduga menyimpang dari prosedur dan spesifikasi yang telah ditetapkan.

Mahasiswa yang tergabung dalam aliansi pemantau kebijakan publik menyuarakan kritik keras terhadap proyek tersebut. Aliansi mahasiswa juga menyoroti adanya indikasi manipulasi laporan kemajuan proyek serta ketidaksesuaian teknis dari perangkat yang terpasang. Bahkan, beberapa unit dilaporkan tidak berfungsi sejak awal instalasi. Mereka mendesak agar proses hukum dilakukan secara terbuka dan akuntabel.

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *