Denting Bogor Pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang menegaskan bahwa angka pengangguran di Indonesia mengalami penurunan signifikan, kini mulai menuai sorotan. Pasalnya, kondisi di sejumlah daerah justru menunjukkan tren sebaliknya. Salah satunya terjadi di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, di mana gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terus terjadi dalam kurun waktu dua tahun terakhir. Bahkan, data menunjukkan sedikitnya 4.000 pekerja di Kabupaten Bogor telah kehilangan pekerjaan sejak 2023 hingga pertengahan 2025.
Fenomena ini menjadi ironi tersendiri di tengah upaya pemulihan ekonomi nasional pascapandemi. Saat pemerintah pusat menyampaikan optimisme terkait perbaikan ekonomi dan penurunan pengangguran, realitas di lapangan justru menunjukkan ketidakselarasan antara data makro dan pengalaman masyarakat pekerja.
PHK Bertubi-tubi Sejak 2023
Berdasarkan data yang berhasil dihimpun dari Dinas Tenaga Kerja setempat, pada tahun 2023, tercatat sebanyak 2.008 tenaga kerja mengalami PHK. Pemutusan hubungan kerja terjadi secara bertahap di sejumlah perusahaan. Pada bulan Maret, sebanyak 398 orang dirumahkan, disusul bulan Juli sebanyak 390 orang, dan pada Januari sebanyak 339 orang. Di luar bulan-bulan tersebut, angka PHK juga terus terjadi, meskipun fluktuatif, mulai dari puluhan hingga ratusan pekerja.
Memasuki tahun 2024, situasi tak kunjung membaik. Justru jumlah pekerja yang terdampak kembali bertambah. Sepanjang tahun itu, sebanyak 1.693 orang kembali kehilangan pekerjaannya. Puncak PHK terjadi pada bulan Januari 2024 dengan 463 pekerja, sementara bulan November dan Februari menyusul dengan masing-masing 214 dan 208 pekerja.
2025 Belum Memberi Harapan
Harapan agar situasi membaik pada tahun 2025 tampaknya belum terlihat. Hingga pertengahan tahun ini, sebanyak 500 pekerja kembali mengalami PHK. Meskipun jumlah ini terlihat lebih kecil dibanding dua tahun sebelumnya, namun tren yang terus berlanjut ini menimbulkan kekhawatiran tersendiri.
Jika pola PHK ini terus berjalan hingga akhir tahun 2025, bukan tidak mungkin jumlah pekerja yang kehilangan pekerjaan akan melampaui angka pada tahun-tahun sebelumnya. Selain berdampak pada perekonomian keluarga, gelombang PHK juga berpotensi memicu meningkatnya kemiskinan dan tekanan sosial di masyarakat.
Di Mana Letak Ketimpangannya?
Ketidakseimbangan antara klaim penurunan angka pengangguran secara nasional dengan realitas PHK di daerah menunjukkan adanya persoalan struktural yang lebih dalam. Banyak pihak menilai bahwa klaim penurunan pengangguran seringkali hanya merujuk pada angka statistik, tanpa mencerminkan kondisi riil di lapangan. Apalagi jika data tidak disertai dengan penelusuran mendalam terhadap kualitas pekerjaan, upah layak, dan keberlanjutan kerja.
Tak sedikit pula yang menduga bahwa tingginya angka PHK berkaitan dengan transformasi industri dan digitalisasi yang mengurangi kebutuhan tenaga kerja manual. Sementara di sisi lain, pelatihan dan alih keterampilan bagi para pekerja terdampak masih jauh dari cukup.
Tantangan Pemerintah Daerah dan Pusat
Pemkab Bogor bersama pemerintah pusat kini menghadapi pekerjaan rumah yang cukup besar: menciptakan lapangan kerja baru, menjaga stabilitas industri, dan memberikan perlindungan bagi pekerja yang terkena PHK. Tanpa langkah konkret dan kolaboratif antar instansi, potensi krisis ketenagakerjaan di daerah seperti Kabupaten Bogor dapat berkembang menjadi persoalan nasional yang lebih serius.
Tak hanya menyangkut sektor formal, PHK massal ini juga akan berdampak pada sektor informal dan pelaku UMKM yang menjadi tumpuan ekonomi rakyat. Maka dari itu, transparansi data, penyusunan kebijakan berbasis realitas, serta respons cepat terhadap dinamika pasar kerja sangat dibutuhkan