Denting SUKABUMI — Isu transparansi pajak dari sektor usaha kafe dan restoran di Kota Sukabumi memantik perdebatan di ruang publik dan parlemen lokal. Sorotan tajam datang dari DPRD, namun Wali Kota Sukabumi Ayep Zaki menegaskan bahwa kerahasiaan data perpajakan dilindungi undang-undang dan tidak bisa diumbar sembarangan.
Dalam keterangannya kepada wartawan, Ayep menyatakan bahwa pemerintah memiliki batasan dalam menyampaikan informasi perpajakan ke publik, termasuk identitas dan nominal pajak yang dibayarkan oleh para wajib pajak.
“Ada aturan yang mengatur. Tidak bisa dibuka siapa perusahaan mana, hotel mana, termasuk jumlah pajaknya. Itu bersifat privasi,” ujar Ayep, merujuk pada ketentuan dalam UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik serta regulasi perpajakan lainnya.
Meski demikian, Ayep memastikan bahwa pengawasan tetap dilakukan oleh instansi teknis. Ia mencontohkan dirinya sebagai kepala daerah yang juga membayar pajak, namun nilainya tidak bisa diumumkan secara terbuka.
“Kalau saya tidak bayar, pasti instansi teknis menindak. Tapi bukan berarti data saya boleh diumumkan. Sama halnya dengan pelaku usaha lain,” tambahnya.
Ayep juga menjelaskan bahwa keterbukaan informasi bukan berarti membocorkan segala hal tanpa batas. Setiap informasi memiliki derajat kerahasiaan, apalagi yang menyangkut hak dan kewajiban perpajakan warga atau pelaku usaha.
Kritik DPRD: “#BukaDataPajakKami”
Sebelumnya, anggota DPRD Kota Sukabumi dari Fraksi PKS, Inggu Sudeni, melontarkan kritik keras terkait minimnya laporan pajak sektor kafe dan restoran. Menurutnya, masyarakat berhak tahu sejauh mana pengelolaan Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) dilakukan secara akuntabel.
“Kalau di struk tertulis pajak 10 persen, berarti itu titipan masyarakat kepada negara. Tapi apakah benar uang itu sampai ke kas daerah?” tanya Inggu yang juga menjabat Ketua Bapemperda DPRD Sukabumi.
Inggu mendesak agar Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) menyampaikan laporan penerimaan pajak kepada DPRD minimal setiap triwulan. Ia bahkan menuding adanya upaya “menutup-nutupi data”, dan mengajak masyarakat untuk menuntut keterbukaan melalui tagar #BukaDataPajakKami di media sosial.
Menjaga Akuntabilitas Tanpa Melanggar Privasi
Polemik ini memperlihatkan pentingnya keseimbangan antara transparansi publik dan perlindungan data pribadi wajib pajak. Pemerintah daerah didorong untuk terus meningkatkan akuntabilitas, misalnya dengan mempublikasikan total penerimaan pajak per sektor, tanpa mencantumkan identitas wajib pajak.
Sementara itu, masyarakat dan DPRD diharapkan tetap aktif melakukan pengawasan, namun tetap mengedepankan prinsip kehati-hatian terhadap data sensitif yang dilindungi undang-undang.