Kepergian di Ketinggian: Yuswandi Tutup Usia di Lereng Gunung Slamet

Denting SUKABUMI – Di balik sunyinya jalur pendakian Pos V Gunung Slamet, Jawa Tengah, sebuah kisah haru tercipta. Yuswandi (46), pecinta alam asal Kampung Kebon Pala I, Desa Cibadak, Kabupaten Sukabumi, mengembuskan napas terakhirnya pada Sabtu, 26 Juli 2025. Ia berpulang saat menjalani pendakian bersama istrinya tercinta, Ati Kusmiati (44)—sebuah perjalanan yang menjadi kenangan terakhir mereka berdua di tengah pelukan alam yang mereka cintai.

Pasangan ini memulai perjalanan dari Sukabumi sejak Selasa, 22 Juli 2025. Namun, sebelum menuju Gunung Slamet, mereka sempat singgah terlebih dahulu di Bandung untuk bersilaturahmi dengan komunitas pendidikan Kuttab Alfatih, tempat yang selama ini menjadi bagian dari kehidupan spiritual dan sosial mereka.

Setelah itu, Sabtu pagi, mereka memulai pendakian ke Gunung Slamet, salah satu gunung tertinggi di Pulau Jawa. Bagi keduanya, mendaki bukanlah hal baru. Alam terbuka telah menjadi bagian dari cara mereka membangun hubungan, keluarga, dan nilai-nilai hidup.

Putra sulung mereka, Ghazi Adias Al-Ghazali Yuswandi (21), menuturkan bahwa kecintaan orang tuanya terhadap alam telah berlangsung lama. “Ayah dan ibu memang punya hobi yang sama, mendaki. Mereka selalu berdua, tapi karena usia sudah di atas 40, biasanya mereka menyewa satu porter untuk membantu membawa barang-barang,” ujar Ghazi saat ditemui oleh Tribunjabar.id.

Ghazi pun mengenang beberapa pendakian yang pernah dilalui orang tuanya. Mulai dari Gunung Merbabu, Sindoro, Gede, hingga Ciremai—yang terakhir mereka kunjungi hanya tiga minggu sebelum keberangkatan ke Slamet.

Namun, perjalanan kali ini menjadi yang terakhir bagi sang ayah. Saat mencapai Pos V, Yuswandi dikabarkan mengalami keluhan kesehatan. Tim evakuasi sempat dikerahkan, namun sekitar pukul 17.45 WIB, ia dinyatakan meninggal dunia sebelum pertolongan tiba.

Jenazah Yuswandi kemudian dievakuasi dari gunung dan dibawa menuju Viem Slamet sebelum akhirnya dipulangkan ke Sukabumi menggunakan ambulans. “Kami keluarga menerima ini sebagai musibah. Tidak ada dugaan kejadian lain. Ini murni karena takdir. Qadarullah,” ucap Ghazi dengan penuh ketegaran.

Keputusan untuk tidak melakukan autopsi pun diambil secara sadar oleh pihak keluarga. Mereka memilih ikhlas dan menjadikan kepergian Yuswandi sebagai pelajaran hidup yang mendalam.

Ghazi sendiri menyambut jenazah ayahnya di Cirebon, setelah menunggu sejak dini hari. “Kami berangkat dari Sukabumi jam 01.00, bertemu ambulans di Cirebon sekitar jam 05.00. Lalu kami bersama-sama mengantar jenazah sampai ke rumah,” tuturnya.

Yang menggetarkan, ternyata almarhum sempat menyampaikan keinginan untuk dimakamkan di lingkungan Kuttab Alfatih, Sukabumi—tempat yang menurut keluarga begitu bermakna baginya. Prosesi pemakaman dilakukan pada Minggu, 27 Juli 2025, di lahan bekas sawah milik yayasan tersebut di Kampung Pondoktisuk, Desa Balekambang, Kecamatan Nagrak.

“Almarhum dimakamkan sekitar pukul 11.00 WIB. Ini memang wasiat beliau. Kami hanya menjalankan amanahnya,” ujar Ghazi.

Kepergian Yuswandi memang menyisakan duka, tetapi lebih dari itu, ia meninggalkan warisan yang tak ternilai: keteladanan hidup sederhana, kecintaan pada alam, dan nilai-nilai spiritual yang terus mengalir dalam keluarganya. Ia meninggal dunia di tempat yang ia cintai, dengan cara yang menggambarkan siapa dirinya—seorang pejalan yang tak pernah berhenti mencintai ketinggian

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *