Denting Sukabumi : Kebijakan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang menetapkan jumlah maksimal siswa dalam satu rombongan belajar (rombel) sekolah negeri menjadi 50 orang menuai kritik tajam dari kalangan akademisi dan pemerhati pendidikan. Kebijakan ini dinilai tidak hanya bermasalah secara administratif, tetapi juga bertentangan dengan prinsip dasar pendidikan yang diamanatkan oleh undang-undang.
Salah satu suara kritis datang dari Dian Purwanti, pengamat kebijakan publik sekaligus Kepala Program Studi Ilmu Administrasi Publik Universitas Muhammadiyah Sukabumi (UMMI). Menurutnya, kebijakan ini berpotensi menggerus kualitas pendidikan, menambah beban guru, dan menghambat proses belajar-mengajar yang efektif.
“Meski tujuannya sebagai solusi atas membludaknya peserta didik di sekolah negeri, kebijakan ini justru menabrak prinsip-prinsip pendidikan nasional. Baik dari sisi keadilan, proporsionalitas pengajaran, maupun efektivitas proses belajar,” ujar Dian saat diwawancarai pada Senin (28/7/2025).
Ia merujuk pada UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya Pasal 4 ayat (9) dan Pasal 40 ayat (2), yang menekankan pentingnya keadilan dalam pendidikan dan perlindungan terhadap tenaga pengajar. Menurutnya, jumlah siswa yang terlalu besar dalam satu kelas berpotensi menurunkan kualitas interaksi guru-murid serta efektivitas pengajaran secara keseluruhan.
Tak hanya dari sisi hukum, kebijakan tersebut juga dinilai melanggar Peraturan BAN-S/M Nomor 13 Tahun 2020, yang mengatur standar akreditasi satuan pendidikan dasar dan menengah. “Jika kebijakan ini tetap dipaksakan, maka sekolah-sekolah yang mengikutinya akan berisiko mendapatkan nilai rendah dalam akreditasi,” terang Dian.
Dari perspektif psikologi pendidikan, rombel yang terlalu padat justru menjadi hambatan dalam membangun komunikasi efektif antara guru dan siswa. “Kelas dengan 50 siswa itu tidak kondusif. Siswa akan kesulitan fokus, motivasi belajar menurun, dan guru pun tidak mungkin membangun kedekatan emosional yang optimal,” tambahnya.
Sebagai solusi, Dian mendorong agar Pemprov Jawa Barat membangun unit sekolah baru, menambah rombel tambahan, serta memaksimalkan sistem zonasi dan distribusi siswa secara merata. Ia juga menekankan pentingnya kolaborasi dengan sekolah swasta melalui kebijakan afirmatif dan dukungan dana BOS daerah.
Gubernur Dedi Mulyadi sebelumnya menanggapi kritik tersebut dengan menyebut kebijakan ini bersifat sementara, sambil menunggu rampungnya pembangunan 736 ruang kelas baru untuk jenjang SMA dan SMK negeri. Pemerintah Provinsi bahkan telah mengalokasikan tambahan anggaran sebesar Rp100 miliar untuk proyek tersebut dan menargetkan rombel 50 siswa hanya berlaku hingga Januari 2026.
Namun Dian tak serta merta menerima argumen tersebut. “Itu kan baru rencana. Kebijakan sudah jalan hari ini, dan efeknya nyata. Pak Dedi selalu terburu-buru dalam membuat keputusan publik. Polanya trial and error. Begitu menuai kritik, baru berubah arah,” sindirnya.
Menurutnya, kebijakan pendidikan harus dibangun dengan pendekatan jangka panjang, partisipatif, dan berbasis data, bukan hanya sekadar respons sesaat terhadap masalah teknis lapangan.