Konspirasi di Balik Private Jet KPU? Vinus Gelar Diskusi Publik Soroti Putusan DKPP

Bogor, Denting.id – Isu penggunaan private jet oleh jajaran Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI dalam rangkaian kegiatan Pilkada 2024 kembali memantik perdebatan publik. Keputusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang hanya menjatuhkan sanksi “peringatan keras” kepada empat anggota KPU dinilai terlalu ringan dan tidak mencerminkan pelanggaran etik yang sesungguhnya.

Visi Nusantara Maju (Vinus Indonesia) langsung merespons isu ini dengan menggelar diskusi publik yang disiarkan dalam format podcast hari ini, Jumat (24/10/2025). Diskusi bertajuk “Konspirasi di Balik Private Jet KPU? Menyoal Putusan DKPP!” ini berlangsung di Kantor Vinus, Cibinong, Bogor. Diskusi ini menghadirkan sejumlah narasumber dari kalangan aktivis, akademisi, dan lembaga pemantau pemilu.

Integritas KPU Diragukan, Hasil Pemilu Berpotensi Cacat

Yusfitriadi, Direktur Vinus Indonesia, mengawali diskusi dengan menegaskan bahwa kasus private jet ini bukan sekadar persoalan pelanggaran etik. Menurutnya, kasus ini menyentuh fondasi moral penyelenggara pemilu dan legitimasi hasil pemilihan itu sendiri.

“KPU adalah lembaga yang mengurus pembentukan pemerintahan baru. Kalau integritasnya diragukan, hasil pemilu pun akan berpotensi cacat,” ujar Yusfitriadi.

Ia menjelaskan bahwa kasus ini memiliki dua dugaan pelanggaran:

  1. Pelanggaran etik yang sudah diperiksa oleh DKPP.
  2. Dugaan korupsi yang telah diadukan masyarakat sipil ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

“KPK sudah lama menerima laporan soal ini, tapi belum diproses. Semoga dengan adanya bukti baru dan putusan DKPP, KPK segera bertindak,” tambahnya.

Yusfitriadi menilai penggunaan private jet oleh lembaga negara menunjukkan sikap tidak profesional dan berlebihan. Ia menyatakan hal ini mencederai kepercayaan publik terhadap lembaga yang seharusnya menjadi simbol integritas demokrasi.

Kejanggalan Pengadaan dan Lemahnya Sanksi DKPP

Sementara itu, Jeirry Sumampow dari TePI Indonesia menilai banyak kejanggalan dalam kasus ini. Kejanggalan utama terkait alasan penggunaan private jet dan proses pengadaannya.

“Narasi yang dibangun KPU soal kebutuhan logistik itu tidak sesuai dengan fakta. Jenis pesawat yang digunakan sangat mewah, bahkan melebihi standar kebutuhan lembaga negara. DKPP mestinya lebih tegas karena pelanggaran ini menyangkut penyalahgunaan fasilitas publik,” ujarnya.

Jeirry juga menyoroti lemahnya uji kelayakan terhadap perusahaan penyedia jasa sewa pesawat tersebut. Ia menduga ada ketidakwajaran dalam kontrak dan penggunaan anggaran.

“Kredibilitas perusahaan penyedia juga dipertanyakan. Kalau KPU tidak melakukan uji kelayakan, berarti ada kelalaian serius. DKPP seharusnya menjadikan ini alasan kuat untuk menjatuhkan sanksi lebih berat,” tegasnya.

Ia menambahkan, keputusan DKPP yang hanya memberikan peringatan keras tanpa memberhentikan anggota KPU yang terlibat, tidak akan membawa perubahan. “Keputusan DKPP tidak memberi dampak signifikan. Demokrasi bukan sekadar soal prosedur, tapi soal moral dan kejujuran,” pungkas Jeirry.

Cacat Moral dan Pemborosan Uang Negara

Dari perspektif reformasi tata kelola keuangan negara, Badiul Hadi dari Seknas FITRA menilai kasus ini adalah bentuk pemborosan dan penyalahgunaan wewenang. “Persoalan ini bukan sekadar pelanggaran etik, tapi juga cacat moral. Ketika proses demokrasi cacat moral, maka hasilnya juga akan bermasalah,” katanya.

Menurut Badiul, DKPP seolah hanya menjatuhkan sanksi moral tanpa efek hukum yang nyata. Padahal, ia menyebut permasalahan anggaran dalam kasus ini sudah masuk ranah dugaan tindak pidana korupsi.

“Kita bicara tentang uang negara yang digunakan untuk kemewahan. Kalau tidak ada efek jera, ini bisa jadi preseden buruk bagi penyelenggaraan pemilu ke depan,” tegasnya.

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *