Jakarta, denting.id – Langkah perempuan menuju kursi parlemen di ASEAN dinilai masih terjal, meski berbagai negara telah menunjukkan kemajuan. Pesan itu mengemuka dalam forum Women Parliamentarians of ASEAN Inter-Parliamentary Assembly (WAIPA) yang diikuti Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI.
Ketua BKSAP DPR RI Syahrul Aidi Maazat menegaskan bahwa standar minimal 30 persen keterwakilan perempuan masih jauh dari tercapai di banyak negara Asia Tenggara. Ia menyebut kemajuan yang ada belum cukup untuk menjawab tantangan struktural yang menghambat perempuan tampil sebagai pengambil keputusan.
“Bias gender, diskriminasi, hingga budaya patriarki masih menjadi tembok besar bagi perempuan untuk masuk dunia politik,” ujar Syahrul di Jakarta, Senin.
Syahrul menilai peran perempuan dalam pembangunan ekonomi, sosial, dan kebijakan publik semestinya lebih kuat tercermin dalam proses politik. Namun realitas di berbagai parlemen ASEAN belum menunjukkan representasi yang proporsional.
Wakil Ketua BKSAP DPR RI Irine Yusiana Roba Putri menambahkan bahwa kesenjangan gender di parlemen bukan hanya persoalan satu negara, melainkan problem global termasuk di Asia Tenggara. Data Inter-Parliamentary Union (IPU) menunjukkan hanya sedikit negara yang mampu mencapai keseimbangan representasi perempuan di parlemen nasional.
“Kita harus memandang isu ini sebagai agenda regional. Negara-negara ASEAN perlu memperkuat jejaring perempuan parlemen dan berbagi praktik baik untuk mendorong kebijakan afirmatif,” kata Irine.
Menurut Irine, kesetaraan gender bukan semata urusan keadilan, melainkan juga berdampak langsung pada efektivitas pembangunan. Berbagai studi menunjukkan bahwa keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan menghasilkan kebijakan yang lebih responsif dan inklusif.
Melalui platform WAIPA, BKSAP berharap negara-negara ASEAN dapat memperkuat komitmen bersama demi membuka ruang politik yang lebih setara bagi perempuan di kawasan.

