MK Hapus Presidential Threshold, Anwar Usman dan Yusmic Nyatakan Dissenting Opinion

JAKARTA (Denting.id) – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk menghapus ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold sebesar 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional di pemilu sebelumnya. Namun, keputusan ini menuai dissenting opinion dari dua hakim MK, Anwar Usman dan Daniel Yusmic P. Foekh.

Ketua MK, Suhartoyo, menyampaikan dissenting opinion keduanya dalam pembacaan amar putusan perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024 pada Kamis (1/2). Menurut Suhartoyo, kedua hakim tersebut berpendapat bahwa para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing yang cukup untuk melanjutkan perkara ke pokok permohonan.

“Pada pokoknya, dua hakim tersebut berpendapat para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing, sehingga seharusnya Mahkamah tidak melanjutkan pada pokok permohonan,” ujar Suhartoyo.

Baca juga : 5 Universitas Terbaik di Bogor Berdasarkan UniRank 2024

Alasan Dissenting Opinion

Anwar dan Daniel menegaskan bahwa pemohon dalam perkara pengujian undang-undang harus mampu menjelaskan secara jelas kualifikasi dan keterpenuhan syarat legal standing sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat 1 UU MK. Para pemohon kasus ini—Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna—dinilai tidak memenuhi syarat tersebut.

“Kami berpendapat bahwa dalam perkara ini, para pemohon tidak memenuhi kedudukan hukum sebagaimana telah diatur dan diputuskan dalam perkara-perkara sebelumnya,” ujar Anwar dan Daniel.

Keduanya juga merujuk pada perkara serupa yang telah diajukan sebelumnya, seperti putusan terkait Pasal 222 UU Pemilu yang telah diperiksa sebanyak 33 kali. Menurut mereka, pihak yang berhak mengajukan pengujian norma tersebut adalah partai politik, gabungan partai politik, atau individu yang memiliki hak untuk dipilih serta didukung oleh partai.

Baca juga : Warga Antusias Naik MRT dengan Tarif Rp 1, Liburan Tahun Baru Jadi Momen Edukasi

Sikap Konsisten

Anwar dan Daniel menegaskan bahwa pandangan mereka sejalan dengan pendirian dalam putusan-putusan sebelumnya. “Pendirian Mahkamah ini pula yang kami pegang teguh saat memutus permohonan terkait Pasal 169 huruf n, Pasal 222, dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017, sebagaimana tercantum dalam dissenting opinion pada putusan MK Nomor 4/PUU-XXI/2023,” tegas mereka.

Mereka menyatakan bahwa norma Pasal 222 UU 7/2017 hanya dapat diuji oleh pihak-pihak yang telah disebutkan dalam aturan sebelumnya. Oleh karena itu, keduanya tetap pada pendirian bahwa Mahkamah seharusnya menolak perkara ini sejak awal karena tidak memenuhi syarat formal.

Implikasi Keputusan

Keputusan mayoritas hakim MK untuk menghapus presidential threshold dipandang sebagai langkah signifikan dalam reformasi sistem pemilu di Indonesia. Namun, dissenting opinion dari dua hakim ini mencerminkan adanya perdebatan hukum yang kuat di internal Mahkamah.

Ke depan, keputusan ini diprediksi akan berdampak besar pada peta politik nasional, terutama dalam Pemilu 2024, dengan membuka peluang lebih besar bagi kandidat nonpartai besar untuk maju sebagai calon presiden.

Baca juga : Viral Terjadi Lagi perundungan Seorang Remaja Putri di Bogor

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *