Jakarta, Denting.id – Kabar duka datang dari Petungkriyono, Pekalongan, Jawa Tengah. Sebuah longsor besar yang terjadi di kawasan ini telah merenggut 21 nyawa. Kejadian tragis ini semakin mengejutkan karena Petungkriyono dikenal sebagai kawasan yang sangat alami, dengan hutan hujan tropis yang seharusnya dapat menjadi penahan bencana alam seperti longsor.
Petungkriyono, yang terletak di Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Pekalongan Timur, memang dikenal dengan kekayaan alamnya. Mengutip dari Perhutani, Jumat (24/1/2025), kawasan ini berada di Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Petungkriyono dan termasuk dalam Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Doro, Kabupaten Pekalongan, Provinsi Jawa Tengah.
Hutan hujan tropis di Petungkriyono memiliki luas 6.465 hektare, dengan berbagai jenis hutan, mulai dari hutan lindung hingga hutan alam sekunder dan hutan produksi terbatas. Meski kawasan ini kaya akan flora dan fauna, dengan berbagai spesies langka seperti harimau jawa, elang jawa, dan primata endemik seperti owa jawa, longsor tetap bisa terjadi. Faktor cuaca ekstrem dan perubahan lingkungan turut berperan dalam bencana ini.
Administratur KPH Pekalongan Timur, Untoro Tri Kurniawan, menyebutkan bahwa Hutan Petungkriyono memiliki keunikan yang sangat penting bagi ekosistem Indonesia. “Selain sebagai hutan hujan tropis, hutan ini juga menjadi habitat bagi berbagai satwa langka dan potensi wisata alam serta pendidikan,” kata Untoro.
Kepala Desa Telagapakis, Sutung, menambahkan bahwa keberhasilan pengelolaan hutan ini tidak lepas dari keterlibatan masyarakat sekitar dan Perhutani. “Kami berterima kasih atas pembinaan dan perhatian yang diberikan Perhutani KPH Pekalongan Timur. Semoga kerja sama ini terus berlanjut,” ujar Sutung.
Namun, kejadian longsor ini menunjukkan bahwa meski kawasan hutan terjaga, bencana alam tetap bisa terjadi. Dengan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi, Hutan Petungkriyono memang memiliki banyak manfaat ekologis, tetapi tantangan terkait perubahan iklim dan cuaca ekstrim tetap menjadi ancaman serius.
Kawasan ini, yang meliputi lebih dari 94 spesies burung, 22 spesies mamalia, dan berbagai jenis tanaman langka, termasuk kantong semar dan pakis hutan, tetap membutuhkan perhatian lebih dalam upaya mitigasi bencana untuk melindungi masyarakat yang tinggal di sekitarnya.